19.34
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
LanJuuUt...
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
0 Responses to "SHALAT .... bag.2"
Posting Komentar