19.39
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa
sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",
sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan
selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat
yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau
"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta
dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan
"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan
ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
PUASA MENURUT AL-QURAN
Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,
kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun (QS Maryam [19]: 26).
Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat
Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing
sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin
wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian
kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan
kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa
dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.
Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.
1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.
3. Puasa sunnah.
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.
PUASA RAMADHAN
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat
Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa
puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di
Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban
melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah.
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama
sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-
perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat
dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat
(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari
kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
dengan turunnya ayat 185:
Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan
terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis
lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil
bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi
tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,
dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam
untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan
pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan
panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,
tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana
diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,
maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa
sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan
bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang
berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"
maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.
"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai
gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
bahwa "berpuasa adalah baik."
Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan
bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk
berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa
orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa
sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk
kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi
tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia
tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena
itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada
hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan
hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari
ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.
Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan
hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:
1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia
wajib berbuka; dan
2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita
oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,
dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus
dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat
mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan
hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada
juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa
pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan
(rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.
Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur
keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya
jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat
dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau
tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin
ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan
yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam
kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,
silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan
mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan
berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak
memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang
musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i
menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan
Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada
masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka
itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di
bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak
berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga
(mereka) yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih
baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah
izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan
Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki
kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,
antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,
yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk
meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih
kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan
(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain."
Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi
orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti
bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah
r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada
ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya
memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga
akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti
harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya
segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,
namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun
diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat
menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping
berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan
kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di
atas.
0 Responses to "PUASA ...part.1"
Posting Komentar