Ngomongin virginitas remaja, bukan hanya dominasi kaum cewek. Kaum cowok juga kudu turut ambil bagian dalam masalah ini. Karena makna virgin bukan hanya ‘kegadisan’ saja, tapi juga mencakup ‘keperjakaan’.

Virginitas sangat dekat hubungannya dengan melakukan hubungan seks. Menjaga virginitas berarti menjaga hubungan pergaulan dengan lawan jenis agar nggak kebablasan. Virgin nggaknya seseorang bukan hanya pada kondisi selaput dara saja, tapi sudah pada perilaku seksual dia yang menjurus.
Wah…kayaknya hot banget neh bahasan kita kali ini. Baca terus sampai tuntas, yuukkkk!


Virginitas, bukan tentang selaput ‘gadis’
Virginitas bukan melulu pada utuh tidaknya selaput dara yang menunjukkan kegadisan seorang cewek. Tapi virginitas adalah kondisi mental dan akhlak seseorang dalam perilaku seksualnya. Jadi pihak cowok pun juga bisa dikatakan nggak virgin kalo ia sudah mulai berani melakukan seks bebas sebelum nikah.

Ada banyak kasus selaput dara robek karena aktivitas olahraga atau naik sepeda. Ada juga kasus gonta-ganti pasangan atau pacar tapi selaput dara masih utuh. Nah, di antara dua kasus itu manakah yang masih virgin dan suci?

Jelas yang pertama dong. Meskipun selaput dara sudah robek, tapi kasus pertama menunjukkan kesucian seorang gadis. Tentu saja dengan catatan selama dia bukan pengikut aliran gaul bebas loh yah. Sedangkan kasus kedua, biar kata dia kemana-mana membual suci hanya karena selaput dara utuh, itu juga masih sangat bisa dipertanyakan. Selama dia beraktivitas mendekati zina alias penggiat pacaran, maka kesucian dia hanya sebatas lip service semata. Omong kosong, Non!

Begitu juga dengan halnya para cowok. Jangan karena kamu nggak punya selaput dara, bisa seenaknya saja main seruduk sana-sini tanpa aturan. Emangnya kamu ayam? Meskipun banyak orang bilang bahwa resiko cowok cenderung nggak ada karena nggak meninggalkan bekas semisal hamil kayak kasus pada cewek, tapi ingatlah bahwa dosa yang kamu tanggung juga sama besarnya. Jadi mending kamu berpikir ribuan kali sebelum melakukan tindakan bodoh dengan melakukan seks sebelum nikah. Iya nggak sih?

Jadi bagi kamu kaum cowok, kudu juga tetap harus mempertahankan ‘virginitas’ hingga nanti saatnya tiba. Kapan tuh? Yaitu kalo kalian sudah berani mengucapkan akad nikah di depan ortu/wali calon istrimu yang disaksikan banyak orang dan dicatat sama pak penghulu. Okay dong yah?

Virgin ternoda, salah siapa?
Jawabannya adalah salah semua. Lho, kok? Rentannya virginitas pada remaja saat ini, nggak peduli cewek ataukah cowok, bukan melulu urusan individu yang lemah iman. Masyarakat yang lepas kontrol dan individualis juga menjadi pemicu maraknya seks bebas di kalangan remaja. Sebagai contoh adalah seorang pemilik kost-an yang cenderung permisif (serba boleh) tentang aturan berkunjung tamu putra ke kost putri. Mereka bisa pura-pura tidak tahu bila mendapati hal tersebut di depan mata, hanya karena supaya tempat kost-nya laku. Begitu juga dengan minimnya kepedulian dari masyarakat sekitar. Alih-alih menegur apalagi menggerebek pelaku zina, mereka hanya ambil jalan pintas ‘yang penting nggak mengganggu aku aja’.

Jadilah remaja yang dasarnya lemah iman ini semakin bebas aja mau melakukan hal-hal yang amoral. Mereka merasa mendapat pembenaran dari sekitar. Apalagi dari pihak berwenang dalam hal ini kontrol negara, juga sangat lemah. Selama tak ada pasal pengaduan sikap seseorang melanggar atau mengganggu orang lain, maka pezina tak bisa dijerat undang-undang yang notabene memang mengadopsi dari hukum pidana Belanda. Selama masing-masing pezina melakukannya suka sama suka, tak ada hukum positif di negeri ini yang bisa menjerat perilaku asusila mereka.

Apalagi akhir-akhir ini pelaku aktif gaul bebas semakin giat saja menolak RUU pornografi dan pornoaksi. Mereka berdalih dengan mengatasnamakan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Belum lagi di pihak lain, mereka juga gencar membagikan kondom gratis bagi para pemuda. Kondisi ini diperparah dengan tayangan tivi dan sinetron yang semuanya nyaris mengumbar aurat dan membangkitkan syahwat para pemirsanya. Bahkan beberapa tahun lalu film Virgin pun dibuat dengan alasan untuk mengingatkan remaja tentang bahaya gaul bebas. Tapi bukannya malah ingat, tuh film malah mengumbar aurat dan membikin remaja mupeng (muka pengen) untuk coba-coba. Waduh…lengkap sudah upaya penodaan terhadap kaum muda ini.

Islam juga ngomongin virginitas
Islam sangat menjaga kesucian diri baik cewek maupun cowok. Islam sebagai pandangan hidup yang paripurna dan lengkap, telah memunyai aturan hingga hal terkecil sekalipun. Islam mempunyai langkah-langkah yang bukan hanya curative (penyembuh) tapi juga preventif (pencegah). Maksudnya, sebelum terjadi kerusakan masyarakat karena seks bebas dan hilangnya virgintas pada remaja, ada langkah-langkah pencegahan yang harus ditempuh.
Pertama, ada aturan yang lengkap dan detil tentang gaya berpakaian baik cewek maupun cowok. Batas-batas aurat mana yang dipatuhi untuk tidak dipamerkan semaunya sendiri. Bagi cewek ada kerudung dan jilbab yang harus dikenakan bila keluar rumah. Untuk cowok pun, hati-hati dengan sesuatu yang ada di atas lutut dan di bawah pusar. Karena itulah area batas aurat cowok. ada perintah menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang bukan menjadi haknya.

Kedua, aturan pergaulan laki-laki dan perempuan yang sempurna. Larangan berduaan bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom karena pihak ketiga pastilah setan. Tahu sendirilah apa kerjaan setan yang bakal ngomporin kedua orang beda jenis ini untuk melakukan hal-hal terlarang. Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.” (HR Ahmad)

Ketiga, peran serta masyarakat harus ada. Menegur, menasehati, dan peduli harus ditingkatkan ketika terjadi gejala perilaku seseorang menuju ke arah gaul bebas. Yang namanya tetangga apalagi pak RT dan pak RW harus tegas memberi teguran, peringatan hingga sanksi untuk perilaku yang kebablasan.
Keempat, peran negara sangat vital dalam hal ini. Selain sebagai pihak yang mengelurkan aturan bekekuatan hukum, negaralah yang berhak memberi sanksi secara hukum pula bila ada pelanggaran. Negara harus mensosialisaskan aturan-aturan ini agar diketahui dan dipahami masyarakat. Bila sudah begini, orang-orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan tindakan amoral bila saja saksinya tegas. Cambuk 100 kali bagi yang pezina yang belum pernah menikah dan rajam bagi pezina yang sudah menikah. Bukan gertak sambal, tapi harus serius dilaksanakan. Bisa dijamin, angka gaul bebas yang notabene mengarah ke seks bebas langsung turun drastis.

dalil sanksi bagi pezina ghairu muhshan adalah ayat tentang jilid (hukuman cambuk), yakni firman Allah swt.:

“Pezina laki dan perempuan jilidlah masing-masing keduanya dengan seratus kali jilid” (QS an-Nûr [24]: 2)

Oya, untuk hukuman rajam adalah berdasarkan riwayat dari ‘Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya berkata, “Telah datang kepada Rasulullah saw., al-Ghamidiyyah dan ia berkata, “Ya Rasulullah saw., aku telah berzina, sucikanlah aku!” Beliau saw. menolaknya.

Besoknya ia berkata, “Wahai Rasulullah jangan engkau menolak aku, semoga engkau merehabilitasi aku sebagaimana engkau merehabilitasi al-Mâ’iz. Demi Allah saya telah hamil. Rasulullah saw. bersabda, “Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.”

Ketika ia telah melahirkan ia mendatangi Rasulullah saw. dengan anaknya yang ada di gendongan, dan ia berkata, “Ini adalah anakku.” Rasulullah saw bersabda,”Pergi, dan susuilah sampai engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi Rasulullah saw. dengan anaknya yang membawa sepotong roti. “Ya Nabiyullah, saya telah menyapihnya, dan ia sudah bisa memakan makanan. Lalu, anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum Muslim. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan menanam wanita itu hingga dadanya, kemudian memerintahkan manusia untuk merajamnya.”

Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita hamil ditunggu sampai ia melahirkan, dan wanita yang menyusui ditunggu hingga ia menyapih anaknya.

Ati-ati en waspada
Jangan main-main masalah virginitas ini, apalagi berniat untuk coba-coba. Karena mirip dengan narkoba, awalnya coba-coba selanjutnya bisa kecanduan. Bagi para cewek, kehilangan virginitas sangat kuat dugaan menjadi pintu awal baginya untuk terjerumus ke arah jalan nggak bener selanjutnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa cewek yang udah terlanjur kehilangan virginitas, akhirnya memilih masuk menjadi pelacur dengan anggapan hidupnya telah hancur dan nggak berguna lagi.

Bagi cowok juga nggak jauh beda. Awalnya yang berniat coba-coba bisa membuatnya menjadi ketagihan dan nggak lagi takut dosa. Apalagi mereka ini cenderung nggak punya beban sosial karena nggak ada selaput keperjakaan yang bisa membuktikan kesucian mereka or nggak. Plus, pihak cowok juga nggak nanggung kehamilan akibat gaul bebas. Bahkan tak jarang banyak cowok yang akhirnya memilih jadi gigolo (pelacur laki-laki) demi uang dan kenikmatan sesaat. Naudzubillah.

So, mulai saat ini, detik ini, kamu kudu nyadar bahwa masalah virginitas baik bagi cewek maupun cowok sama pentingnya. Sudah nggak zamannya lagi cewek menuding cowok sebagai pihak yang disalahkan. Begitu juga cowok menuding cewek sebagai pihak yang keganjenan. Semua kudu kembali melihat diri masing-masing, menjaga iman diri agar tidak tergoda untuk coba-coba gaul bebas yang itu bisa berakibat hilangnya virginitas. Bila benteng diri berupa keimanan sudah oke, maka saatnya kamu melihat sekitar. Ajak teman-temanmu untuk peduli virginitas dan mempertahankannya hingga menikah kelak. Gimana caranya?

Begini Bro ena Sis, di usia kamu yang masih remaja dan sangat muda ini, jauhkan hal-hal yang bisa mengakibatkan nafsu syahwat muncul. Buang jauh-jauh majalah porno, hindari tontonan yang memancing syahwat, tolak pacaran yang jelas-jelas langkah awal setan untuk menjerumuskan kamu pada perzinaan dan nggak usah coba-coba untuk ikhtilat--yaitu bercampur baur antara cewek dengan cowok kecuali dalam tiga hal; pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.

Lakukan aktivitas positif yang bisa meraup pahala semisal rajin belajar dan gabung dengan kelompok ilmiah remaja, olahraga yang tidak bertentangan dengan syariat, aktif di kegiatan rohis (kerohanian Islam), dan berkumpul dengan teman-teman yang sholih bagi cowok dan sholihah bagi cewek. Yang nggak boleh dilupa, pertebal keimanan kamu dengan selalu taat ajaran Islam, dan yakini bahwa Allah Maha Melihat di mana pun kamu berada. So, hal ini bakal bikin kamu malu dan malas untuk berbuat maksiat.

Finally…
Virginitas selain bukan melulu tentang selaput dara yang menunjukkan masih perawan tidaknya seorang gadis, ia bisa menjadi tolok ukur keimanan dan akhlak perilaku seseorang. Seseorang ini bisa cewek dan bisa juga cowok. Meskipun pada seorang cowok sulit dideteksi apakah ia masih virgin ataukah nggak, tapi sesungguhnya jawaban itu bisa ditemui di dalam kejujuran hati masing-masing individu. Most of all, ada Allah yang Mahatahu tentang virgin tidaknya seseorang, suci ataukah ternoda.

Musuh-musuh Islam selalu mencari celah dan berupaya untuk menjerumuskan remaja dan pemuda-pemudi muslim agar berlumur dosa. Celah ini adalah siasat untuk merusak Islam secara keseluruhan sebagai tujuan akhir. Generasi muda adalah lahan empuk yang digunakan sebagai sasarannya. Gimana nggak kalo di usia kamu ini, perkembangan hormon seksual emang mulai berkembang dan daya ingin tahu pun mulai meledak-ledak. Kalo nggak dibentengi dengan iman yang kuat, pastilah korban dari para pemuda akan berjatuhan.

Jangan tinggal diam, remaja muslim kudu diselamatkan dari gaul bebas yang bisa mengakibatkan hilang dan murahnya harga virginitas. Itu semua bakal berat dilakukan selama paham kebebasan berperilaku yang menjadi salah satu sendi demokrasi terus dipertahankan. Nah, demokrasi ini ditopang oleh kapitalisme yang emang materi menjadi tujuan. Bagi mereka yang pikirannya dijejali ide kapitalisme, nggak masalah remaja rusak yang penting uang bisa dihasilkan dari sana. Apalagi bila itu dianggap sebagai penghasil devisa negara, maka tempat maksiat pun dilestarikan bahkan kalo bisa diperbanyak.
Hiii…pantas aja negeri ini nggak pernah putus dirundung malang dari satu musibah ke musibah yang lain. Soalnya, Tuhan emang pantas murka melihat tingkah manusia dan negara model kayak gini. Dan ternyata emang pangkal dari semua kerusakan ini terutama betapa murah harga virginitas remaja itu berpangkal dari sistem pergaulan, sosial, kemasyarakatan dan bahkan hukum kita itu mengacu pada selain Islam.

So, nggak ada jalan lain bila kita ingin menyelamatkan generasi muda dari kerusakan yang makin parah kecuali kembali pada aturan yang berasal dariNya. Dan aturan ini nggak akan mungkin sempurna dilaksanakan kecuali oleh sebuah sistem tertentu bernama Daulah Khilafah Islamiyah. Sistem ini nggak akan tegak kalo nggak ada pemuda muslim yang berusaha untuk memperjuangkannya. Jadi, nggak ada pilihan lain kalo pingin mulia di dunia dan akhirat kecuali kita semua, saya dan kamu, turut ambil bagian dalam perjuangan ini.

Jadi, ayo kita sepakat untuk mempertahankan virginitas sampai merit kelak dan mencampakkan ide gaul bebas ke tong sampah peradaban.
LanJuuUt...

JAKARTA: Penurunan tarif Internet yang dijadwalkan diterapkan bulan ini masih diupayakan bersama melalui pembahasan kelompok kerja Depkominfo dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dengan kisaran antara 20% dan 40%.

Sebagian penyelenggara jasa Internet menyatakan belum bisa menurunkan tarif mulai Juli karena menunggu perjanjian tarif baru yang lebih rendah dengan penyedia jaringan.

Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh menuturkan penurunan tarif Internet masih diupayakan bisa diterapkan Juli 2008.


"Kemarin [Kamis pekan lalu] kami mulai berkoordinasi dengan APJII baik yang operator maupun yang nonoperator. Kami duduk bersama untuk mencapai angka ini," tuturnya pekan lalu.

Menurut Nuh, koordinasi tersebut sepakat membentuk kelompok kerja untuk memetakan peran masing-masing baik pemerintah maupun operator agar penurunan tarif tersebut bisa terealisasi.

Saat ditanyakan tingkat penurunan tarif tersebut, Nuh memperkirakan kisarannya akan berada di antara 20% dan 40%.

Tarif Internet berdasarkan strukturnya bisa dikelompokan menjadi tiga komponen yaitu tarif internasional, tarif jaringan tulang punggung (backbone) nasional dan tarif last mile atau ritel.

"Komponen ini memiliki satuannya sendiri-sendiri. Kami melakukan kajian misalnya harga 100 untuk turun menjadi 80 mana saja komponen yang masih bisa ditekan."

Dalam bisnis Internet, harga di ritel turut dipengaruhi oleh peluang pasar atau besar kecilnya basis pelanggan. Dengan kondisi itu maka pemerintah dan berbagai pihak terkait tengah berupaya menciptakan peluang pasar.

Nuh menjelaskan dalam kaitannya dengan tarif sewa internasional, tidak mungkin Indonesia melakukan intervensi untuk menurunkan tarif kecuali melalui skema kompetisi di mana penyedia data ke backbone internasional dinilai masih perlu ditambah.

Perjanjian baru

Wahyoe Prawoto, Kabid Organisasi & Keanggotaan APJII, mengatakan anggota yang hanya menyediakan jasa belum bisa menurunkan tarif Juli ini karena belum ada perjanjian tarif baru yang lebih rendah dengan pihak penyedia jaringan.

"Mereka masih terkena tarif backhaul dan lastmile yang lama, sedangkan mereka yang masih bisa menurunkan tarif Internet adalah operator jaringan yang bisa memaket harga jaringan dan bandwidth Internetnya," ujarnya kepada Bisnis.

Wahyoe menegaskan pembentukan pokja lebih bertujuan memberikan masukan dalam persiapan penyusunan peraturan menteri agar pertumbuhan industri menjadi lebih sehat.

"Niat pokja tidak dikhususkan untuk tarif, tetapi agar industri yang hanya menyediakan jasa dan selain jasa, operator jaringan besar [yang cenderung dominan] dapat tumbuh lebih sehat."

Nuh mengatakan kendala dalam kebijakan tarif adalah kondisi di bisnis Internet sendiri misalnya saat Internet masuk ke gateway gedung-gedung bertingkat atau pusat perkantoran, setiap pengelola gedung memberlakukan tarif sendiri-sendiri. "Kalau tarif ini besar maka ujung-ujungnya ke ritel juga menjadi besar," katanya.

Di sisi lain, pemerintah akan merealisasikan peningkatan penetrasi komputer untuk memperluas pemakaian Internet dengan komitmen merealisasi pemanfaatan skema PC murah di dunia pendidikan yang akan diteruskan dengan persiapan pemerintah untuk mendorong pasar PC di segmen rumah tangga dengan harga US$200.

Dalam perkembangan lain, pemerintah berniat mempercepat ekonomi Internet sampai ke daerah pelosok. Nuh mengatakan dalam pertemuan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) di Seoul, Korsel, yang dihadiri Indonesia baru-baru ini, disepakati peran Internet akan menumbuhkan roda perekonomian.
LanJuuUt...

19.56

Terjemahan istilah-istilah internet dan komputer seringkali menyisakan kesulitan sendiri bagi para ahli bahasa dikarenakan ilmu komputer dan internet merupakan teknologi baru yang terus menerus berkembang dan menciptakan istilah-istilah baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam ilmu linguistik. Oleh karena itu tidak jarang terjemahan langsung suatu istilah terasa janggal untuk diucapkan maupun ditulis. Sebagai contoh istilah cookie terasa janggal bila diterjemahkan menjadi

'roti' dalam bahasa Indonesia. Penerjemah-penerjemah harus berusaha sesetia mungkin dengan makna aslinya dengan tidak membuat padanan istilah yang tidak akan dipakai oleh pengguna-pengguna yang terbiasa dengan istilah di dalam bahasa lain.

Banyak dari istilah-istilah internet dan komputer yang memiliki sejarah panjang yang membuat makna kata sesungguhnya kabur, sebagai contoh adalah nama-nama merek terkenal yang seringkali mengambil dari kosakata bahasa di mana perusahaan tersebut berada. Dengan demikian, istilah-istilah yang sudah bercampur dengan kebudayaan dan sejarah suatu bangsa akan semakin sulit diterjemahkan ke dalam budaya yang sama sekali berlainan dan tidak memiliki sejarah internet dan komputer yang sama panjangnya. Sebagai contoh dalam hal ini adalah istilah desktop sama sekali tidak ada hubungannya dengan 'meja' ataupun 'permukaan' di dalam bahasa Indonesia.

Perhatikan bahwa tidak semua istilah dalam artikel ini merupakan istilah resmi seperti yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
LanJuuUt...

Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.

Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.


Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".

Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadr itu.

Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr.

Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.

Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat.

Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)

Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)

Wa ma yudrika la allahu yazzakka (Abasa: 3).

Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.

Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.

Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).

Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.

Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:

"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."

Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.

Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?

LanJuuUt...

d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184)

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama
tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:

musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka
ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena
kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.

Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas
ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang
orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan
mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.
Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.

Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud
yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku
pada setiap masyarakat.

e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
187)

Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari
bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian
hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat
menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium
istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka
puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar
kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi
adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar).

Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan
itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu
mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.

g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam).

Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan
minum sampai dengan datangnya fajar.

Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan
datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam
dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,
dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah
dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh
banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".
Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk
mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat
kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.

Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh
ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.

TUJUAN BERPUASA

Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang
hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut
agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak
memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan
dahaga."

Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan
tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan
kesulitan."

Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.
Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."

Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.
Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,
misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan
pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat
bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,
siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau
minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah,
kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan
itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab
jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,
melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain
penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna
hadis qudsi di atas.

Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan
manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut
belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.
Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.

Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian
dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya
terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan
takwa.

PUASA DAN TAKWA

Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,
menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah
secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah
dirimu dari Allah"

Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau
menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun
kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat
untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.

a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam
raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
lainnya.

b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
mengakibatkan siksa neraka.

Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman
Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada
mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia
timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."

Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan
kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,
menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis.

Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal
tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti
yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik.
Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia
meneladani Allah Swt.

PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH

Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia
meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi
akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).

Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan
yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,
dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara
lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:

Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)

Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia
tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
[72]: 3).

Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,

Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).

Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.

Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal
itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan
sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai
dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,
Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat
mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,
dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.

Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian
kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--
sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.
menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak
memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

PUASA UMAT TERDAHULU

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba
'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas
(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam
prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,
kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada
Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam
agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat
berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi
umat islam dan umat-umat terdahulu?

Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah
aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan
berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang
tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga
kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau
musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan
atau menghindarkannya dari kebinasaan.

Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya
bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi
dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati
makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas
lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang
hari.

Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus
bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan
menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.

Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki
keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan
secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan
faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--
akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.

Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan
atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan
pengendalian diri itulah esensi puasa.

Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau
miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau
masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh
Al-Quran.

Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan
salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi
pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush
shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa
yang mewajibkannya?

Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut
disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam
hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk
mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang
mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa,
dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini
dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran
agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan
bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh
setiap makhluk yang berakal?

Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku
mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."

KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam
Qadar,

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
Lailat Al-Qadr.

Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu,
yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para
malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan,
dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.

Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa
dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa
pun yang dengan tulus berdoa.

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang
keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada
keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal
itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.
LanJuuUt...

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa
sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".


Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",
sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan
selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat
yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau
"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta
dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan
"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan
ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,
kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat
Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing
sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin
wash-shaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian
kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan
kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa
dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.

2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.

3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.

PUASA RAMADHAN

Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat
Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa
puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di
Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban
melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama
sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-
perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat
dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat
(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari
kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
dengan turunnya ayat 185:

Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan
terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis
lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil
bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi
tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,
dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam
untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan
pun.

Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan
panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,
tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana
diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,
maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa
sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan
bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang
berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"
maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.
"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai
gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan
bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk
berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa
orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa
sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk
kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi
tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia
tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena
itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada
hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan
hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.

Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari
ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.
Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan
hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA

a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
yang menderita sakit)

Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia
wajib berbuka; dan

2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita
oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,
dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus
dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat
mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan
hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)

Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada
juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa
pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan
(rukhshah).

Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.
Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur
keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya
jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat
dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau
tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin
ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan
yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam
kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,
silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan
mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan
berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak
memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?

Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang
musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i
menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan
Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada
masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka
itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di
bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak
berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga
(mereka) yang tidak berpuasa."

Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih
baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah
izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan
Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki
kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,
antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,
yaitu:

c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk
meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih
kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan
(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain."

Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi
orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti
bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah
r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada
ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya
memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga
akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti
harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya
segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,
namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun
diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat
menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping
berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan
kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di
atas.
LanJuuUt...

Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan

terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.

Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.

Gereja Katolik dan Perkembangan Islam

Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)

Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)

Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa

Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)

Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.

Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa

Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.

Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.

Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"

Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)

Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.

Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan

Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)

Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:

Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)

… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)

Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)

Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)

Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.

Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
LanJuuUt...

Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri

atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]

Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.

MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)

Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.

Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.

Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.

Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.

Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.

Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.

Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]

Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:

Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]

Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).

Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.

CATATAN

1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).

2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.

3. Ibid.,hal. 13

4. Ibid., hal. 24

5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).

6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).

7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.

8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."

9. QS. al-Hadid 57:4

10. QS. Thaha 20:14.

11. QS. al-Baqarah/2:156.

12. QS. al-A'raf/7:65.

13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.

14. QS. al-Nisa'/4:103.

15. QS. al-Baqarah/2:238.

16. QS. al-Insyirah/94:7-8.

17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).

18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.

19. QS. al-Ikhlash/112:4.

20. QS. al-Syura/42:11.

21. QS. al-An'am/6: 102-3.

22. QS. al-Ankabut/29:45.

23. QS. al-Ma'un/107:1-~.

24. QS. al-Ankabut/29:45.

25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.

26. QS. al-Ma'un/107:

27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.

28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.

LanJuuUt...