Jakarta: Bruce Baikie dan Marc Pomerleau hanyalah karyawan di Sun Microsystems. Tapi kiprahnya di sebuah organisasi nirlaba, Green Wi-Fi, setidaknya akan memberikan manfaat besar bagi anak-anak di negara miskin, jauh dari tempat tinggal mereka di San Fransisco, Amerika Serikat.
Baru-baru ini Baikie dan Pomerleau mengembangkan akses Internet melalui jaringan nirkabel (wireless fidelity/Wi-Fi) dengan menggunakan tenaga surya. Teknologi ini mereka kembangkan untuk aplikasi di daerah terpencil di negara berkembang, yang belum terjangkau jaringan listrik.
Seperti di daerah India bagian utara. Di sana sudah tersedia koneksi telekomunikasi kabel untuk Internet. Namun, sayang, justru kabel listrik yang belum tersambung. Pomerleau dan Baikie memilih teknologi Wi-Fi karena teknologi ini yang paling masuk akal dan relatif lebih murah untuk dikembangkan.
Konsep yang mereka pakai cukup simpel. Setiap node (perangkat yang mampu berinteraksi dalam jaringan) diberi sebuah router yang dilengkapi baterai dan panel surya untuk mengisi baterainya. Node itu ditaruh pada atap, dan sinyal jaringan Wi-Fi ditransfer melalui standar jaringan nirkabel 802.11b/g.
Baikie juga merancang software yang mampu mengatur kerja jaringan ini. Bila asupan energi berkurang sedikit, akses Internet pada beberapa komputer tertentu akan terputus, dan hanya memberikan akses pada kelompok tertentu, misalnya guru. Bisa juga lebar-pita yang dipakai bakal dikurangi, sehingga pengguna hanya dapat memakai e-mail, misalnya. Jadwal dan lama pemakaian Internet pun bisa diatur.
Tapi apa yang terjadi bila musim hujan tiba? Nah, Baikie dan Pomerleau menambahkan sebuah pengontrol pada alat itu untuk melakukan pengaturan otomatis dalam menyuplai energi ke router. Konsumsi energi disesuaikan dengan situasi, bergantung pada level baterai yang masih tersisa dan jumlah sinar matahari yang mereka terima di panel surya.
Saat dites di atap dapur rumah Baikie di Bay Area, hujan sempat turun hingga 28 hari. "Tapi jaringan bisa tetap berjalan dengan lancar," kata Pomerleau. Bahkan, setelah masuk hari ke-30, jaringan juga tetap menyala. Semua peralatan ini hanya memakan biaya US$ 200 atau sekitar Rp 1,8 juta untuk tiap node.
Saat ini, Green Wi-Fi telah mendapatkan dana awal dari Program One Laptop Per Child (OLPC) untuk memproduksi dan menguji prototipe node yang akan digunakan. OLPC adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk memberikan komputer jinjing kepada anak-anak di negara miskin seharga US$ 100 atau Rp 900 ribu.
"OLPC menunjukkan minat yang besar untuk masalah ini," ujar Pomerleau. Maka Pomerleau pun akhirnya menanggalkan pekerjaannya sebagai anggota staf pemasaran di Sun. Pilot project ini akan segera dimulai musim panas ini, di tiga sekolah di India bagian utara, Uttar Pradesh.
LanJuuUt...
Seperti di daerah India bagian utara. Di sana sudah tersedia koneksi telekomunikasi kabel untuk Internet. Namun, sayang, justru kabel listrik yang belum tersambung. Pomerleau dan Baikie memilih teknologi Wi-Fi karena teknologi ini yang paling masuk akal dan relatif lebih murah untuk dikembangkan.
Konsep yang mereka pakai cukup simpel. Setiap node (perangkat yang mampu berinteraksi dalam jaringan) diberi sebuah router yang dilengkapi baterai dan panel surya untuk mengisi baterainya. Node itu ditaruh pada atap, dan sinyal jaringan Wi-Fi ditransfer melalui standar jaringan nirkabel 802.11b/g.
Baikie juga merancang software yang mampu mengatur kerja jaringan ini. Bila asupan energi berkurang sedikit, akses Internet pada beberapa komputer tertentu akan terputus, dan hanya memberikan akses pada kelompok tertentu, misalnya guru. Bisa juga lebar-pita yang dipakai bakal dikurangi, sehingga pengguna hanya dapat memakai e-mail, misalnya. Jadwal dan lama pemakaian Internet pun bisa diatur.
Tapi apa yang terjadi bila musim hujan tiba? Nah, Baikie dan Pomerleau menambahkan sebuah pengontrol pada alat itu untuk melakukan pengaturan otomatis dalam menyuplai energi ke router. Konsumsi energi disesuaikan dengan situasi, bergantung pada level baterai yang masih tersisa dan jumlah sinar matahari yang mereka terima di panel surya.
Saat dites di atap dapur rumah Baikie di Bay Area, hujan sempat turun hingga 28 hari. "Tapi jaringan bisa tetap berjalan dengan lancar," kata Pomerleau. Bahkan, setelah masuk hari ke-30, jaringan juga tetap menyala. Semua peralatan ini hanya memakan biaya US$ 200 atau sekitar Rp 1,8 juta untuk tiap node.
Saat ini, Green Wi-Fi telah mendapatkan dana awal dari Program One Laptop Per Child (OLPC) untuk memproduksi dan menguji prototipe node yang akan digunakan. OLPC adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk memberikan komputer jinjing kepada anak-anak di negara miskin seharga US$ 100 atau Rp 900 ribu.
"OLPC menunjukkan minat yang besar untuk masalah ini," ujar Pomerleau. Maka Pomerleau pun akhirnya menanggalkan pekerjaannya sebagai anggota staf pemasaran di Sun. Pilot project ini akan segera dimulai musim panas ini, di tiga sekolah di India bagian utara, Uttar Pradesh.
0 Responses to "Jaringan Internet Tenaga Surya"
Posting Komentar